Erinnerung an den Tsunami 2004
(English and Bahasa Indonesia below) … Um 7:58 Uhr ereignete sich eines der heftigsten Erdbeben, das den verheerendsten Tsunami der jüngsten Zeit verursachte. Ausgehend von Banda Aceh in Nordsumatra/Indonesien, wo 40 Meter hohe Wellen auf die Küste prallten und fast 160.000 Menschen tötete. Die Tsunami-Welle erreichte 14 Länder entlang des indischen Ozeans und riss ingesamt 230.000 Menschen in den Tod. Wenn wir an den Tsunami 2004 erinnern, gedenken wir der westlichen Touristen, die in Indonesien, Thailand oder Sri Lanka Urlaub gemacht haben. Aber wer erinnert an die einheimischen Opfer? In meinem Buch „Im Schatten der Welle“ gebe ich den indonesischen Opfern eine Stimme.
Die Szene, die ich aus meinem Roman lese, hat mir ein Überlebender des Tsunamis persönlich erzählt.
Wir gedenken heute, am 26.12.2024, 20 Jahre nach der Naturkatastrophe, allen Opfern und deren Familien. So tragisch die Ereignisse auch waren, letztlich erwies sich die Katastrophe für manche als Blessing in Disguise, als versteckter Segen. Führte er nicht nur zur Befriedung des Konflikts in Banda Aceh, sondern auch mich und andere auf die Insel Nias, die auch vom Tsunami betroffen war, um dort beim Wiederaufbau zu helfen. Dort lernte ich Freunde fürs Leben kennen, die sich jetzt und hier in Padang/Sumatra einen Traum erfüllt und das Baringin Resort gegründet haben. Noch ist es nicht offiziell eröffnet, aber ich darf hier schon zu Gast sein. Ich bin Teil der Nias-Familie, die ohne die Katastrophe niemals entstanden wäre. Hier zeigt das Leben wie es gelingt, Schmerz in Jubel zu verwandeln.
Und im Hintergrund winkt wie zum Beweis eine Schildkröte 🙂
Terima kasih, Thank you, Danke!
🙏🏽🌊📘💙
At 7.58 am, one of the most violent earthquakes occurred, causing the most devastating tsunami in recent times. It originated in Banda Aceh in Northern Sumatra/Indonesia, where 40 metre high waves crashed onto the coast, killing almost 160,000 people. The tsunami wave reached 14 countries along the Indian Ocean and killed a total of 230,000 people. When we remember the 2004 tsunami, we remember the Western tourists who were on holiday in Indonesia, Thailand or Sri Lanka. But who remembers the local victims? In my book ‘In the Shadow of the Wave’, I give the Indonesian victims a voice.
The scene I am reading from my novel was told to me personally by a survivor of the tsunami. (Sorry, its in German though.)
Today, on 26 December 2024, 20 years after the natural disaster, we are remembering all the victims and their families. On the other hand, as tragic as the events were, the disaster ultimately proved to be a blessing in disguise for some. Not only did it lead to the pacification of the conflict in Aceh, but it also took me and others to the island of Nias, which was also affected by the tsunami, to help with reconstruction of the island. There I met friends for life who have now fulfilled their dream here and now in Padang/West Sumatra and founded the Baringin Resort. It hasn’t officially opened yet, but I am already allowed to be a guest here. I am part of the Nias family, which would never have been created without this disaster. Here, life shows how pain can be transformed into joy. And in the background, a turtle is waving as proof 🙂
Thank you, Terima kasih, Danke!
🙏🏽🌊📘💙
Pada pukul 7.58 pagi, gempa bumi yang sangat dahsyat terjadi, menyebabkan salah satu tsunami yang paling dahsyat dalam sejarah peradaban. Tsunami ini berasal dari Banda Aceh di Sumatra/Indonesia, di mana gelombang setinggi 40 meter menerjang daerah pesisir yang menewaskan hampir 160.000 orang. Gelombang tsunami mencapai 14 negara di sepanjang Samudera Hindia dan menewaskan kurang lebih 230.000 orang. Ketika kita mengingat tsunami 2004, orang orang lebih sering mengingat para turis asing yang sedang berlibur di Indonesia, Thailand atau Sri Lanka. Tapi siapa yang mengingat masyarakat setempat yang menjadi korban? Dalam buku saya yang berjudul “Dalam Bayang-bayang Gelombang”, saya mencoba memberikan suara kepada para korban dari Indonesia. Adegan yang saya bacakan dari novel saya ini diceritakan kepada saya secara langsung oleh salah satu korban tsunami. Sayangnya, saat ini novel saya hanya tersedia dalam bahasa Jerman.
Hari ini, pada tanggal 26 Desember 2024, 20 tahun setelah bencana dahsyat tersebut, kita mengenang kembali semua korban dan keluarga mereka. Dişisi lain, betapapun tragisnya peristiwa tersebut, bencana ini juga membawa berkah tersembunyi bagi sebagian orang. Salah satunya adalah berakhirnya konflik di Aceh, dan juga membawa saya dan rekan rekan yang lainnya ke pulau Nias, yang juga terkena dampak tsunami, untuk membantu proses rehabilitasi and rekonstruksi. Di sana saya bertemu dengan rekan yang menjadi teman-teman baik seumur hidup, yang dua diantaranya kini telah mewujudkan mimpi mereka di Padang/Sumatera Barat dan mendirikan Baringin Resort. Saat ini belum dibuka secara resmi, tapi saya berkesempatan untuk menjadi salah satu tamu pertama di sini. Saya merupakan bagian dari keluarga baru yang kami debuut sebagai keluarga besar Nias, yang tidak akan pernah tercipta tanpa adanya bencana ini. Dari situasi ini, kita bisa melihat bahwa kehidupan menunjukkan bagaimana sebuah penderitaan dapat berubah menjadi sukacita. Dan di latar belakang, seekor penyu melambai sebagai buktinya 🙂
Terima kasih, Danke, thank you!
🙏🏽🌊📘💙
